Minggu, 19 Mei 2013

SIRS, MODS AND MOF IN TRAUMA PATIENTS



SIRS, MODS AND MOF IN TRAUMA PATIENTS
DR. dr. Fonny Josh SpBP-RE(K)
Surgery Department of Hasanuddin University

ABSTRACT
The inflammatory response consists of hormonal metabolic and immunological components and the extent correlates with the magnitude of the tissue injury. Trauma patients are, however, often exposed, not only to the trauma, but to several events in the form of initial surgery and later final reconstructive surgery. Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) following trauma comprises various systems of the human body which are cross-linked with each other within a highly complex network of inflammation. Endogenous danger signals (danger-associated molecular patterns; DAMPs; alarmins) as well as exogenous pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) play a crucial role in the initiation of the immune response. The role of the dual-function mediators in systemic inflammation provides a possible explanation for the enigmatic question of why patients with severe (sterile) injury present with a syndrome that is indistinguishable from sepsis.
Although multiple organ failure (MOF) remains the leading cause of death after trauma, the pathogenic cellular and molecular mechanisms underlying MOF are poorly understood. In addition to pro-inflammatory and anti-inflammatory mediator cascades, the temporal onset of MOF has generated recent interest because the organ systems involved into MOF seem to deteriorate in a time-dependent fashion after trauma. Knowledge of the normal inflammatory response to trauma makes it possible for the surgeon to react if an abnormal response is observed.
Keywords: Danger-associated molecular patterns (DAMPs); alarmins; pathogen-associated molecular patterns (PAMPs); Systemic inflammatory response syndrome (SIRS); multiple organ failure (MOF)

PENDAHULUAN
Trauma merupakan salah satu penyebab kematian pada negara berkembang. Kematian pada pasien trauma paling sering disebabkan karena  kegagalan organ multiple (MOF), infeksi maupun systemic inflammatory response syndrome (SIRS).   Semua trauma  terutama  multitrauma  ataupun tindakan operasi dapat menimbulkan reaksi tubuh berupa respon  imun.  Namun berat ringannya respon imun yang terjadi dipengaruhi oleh tingkat keparahan trauma,  penanganan dan komplikasi/penyakit penyerta yang kesemuanya   merupakan faktor penentu untuk pemulihan pasien.1  Pada pasien trauma ringan ataupun tanpa komplikasi maka respon inflamasi sistemik yang terjadi hanya bersifat sementara  selanjutnya terjadi keseimbangan antara sekresi mediator pro- dan anti-inflamasi.2  Trauma  merupakan “first hit” yang menghasilkan sinyal endogen  untuk mengaktifkan respon imun adaptif dan bawaan. Sinyal endogen ini dikenal sebagai “danger signal yang di hasilkan oleh cedera jaringan, sel nekrotik atau respon terhadap stress.3  SIRS terjadi akibat mediasi oleh monosit dan komponen sistem imun lainnya. SIRS diikuti oleh CARS (compensatory anti-inflammatory response syndrome). Mediator anti-inflamasi menetralkan mediator pro-inflamasi yang terjadi sehingga respon imun  pada pasien trauma dapat mengarah ke pemulihan atau MOF tergantung pada mediator anti-inflamasi dan pro-inflamasi yang dihasilkan oleh tubuh.4 Penyimpangan regulasi sistem imun dalam merespon trauma mengakibatkan kegagalan multiorgan dan peningkatan mortalitas. Aktivasi inflamasi berlebihan dari aberans monosit (MO) pada SIRS, CARS prematur atau respon CARS yang berlebihan akibat dominasi makrofage dalam aliran darah dan jaringan perifer (gambar 1). Selain itu deplesi sel yang sering terlihat pada pasien trauma memberikan kontribusi terjadinya multiple organ failure (MOF)4.
        

Gambar 1. Beberapa jalur respon imun yang terjadi pada pasien trauma yang mengarah ke pemulihan atau MOF. Garis utuh menggambarkan respon imun untuk trauma berat. Garis berupa titik putus-putus menggambarkan situasi dengan respon SIRS berlebihan yang mengarah ke pemulihan atau kematian. Garis putus-putus mengambarkan CARS prematur atau respon CARS berlebihan yang mengarah ke pemulihan atau MOF.4

Respon inflamasi  yang terjadi akibat trauma adalah proses dinamis yang diakibatkan oleh pelepasan mediator inflamasi. Trauma berat maupun multipel menginduksi terjadinya reaksi imun4  (bawaan maupun adaptif) yang diaktifkan oleh sinyal endogen akibat respon terhadap stres, cedera jaringan ataupun sel nekrotik  dan respon inflamasi sistemik melalui perubahan stress hormon, mediator metabolik, imunologi ataupun respon hemodinamik  (tabel 1) yang pada akhirnya berefek pada kerusakan sistem organ.2,5 Iskemia seluler, iskemia/reperfusi (I/R) injury, hipovolemia dan reaksi imunologi sekunder pasca transfusi darah dan infeksi, merupakan second hit  yang menginduksi SIRS dan dapat berakhir dengan MOF.2
Tabel 1. Respon sistemik terhadap trauma/pembedahan6
Aktivasi sistem nervus simpatik
Respon endokrin

sekresi hormon pituitari

resistansi insulin
Perubahan imunologik dan hemodinamik

sekresi sitokin

reaksi fase akut

leukositosis netrofil

proliferasi limfosit

Respon metabolik hormonal terhadap trauma
Trauma berat diikuti oleh respon metabolisme hormonal. Respon ini ditandai dengan meningkatnya sekresi berbagai hormon stres seperti adrenalin, kortisol, glukagon, hormon pertumbuhan, aldosterone dan hormon anti-diuretik (Tabel 2). Respon adrenokortikal terhadap trauma pertama kali dijelaskan hampir 100 tahun yang lalu.  Impuls aferen dari lokasi cedera merangsang hypothalamus mensekresi hormon yang merangsang kelenjar hipofisis. Kortisol disekresikan oleh stimulasi hormon korteks adrenalin sementara adrenalin disekresikan oleh medula adrenal sebagai respon dari aktivasi sistem saraf simpatik. Pada trauma respon neuroendokrin berinteraksi dengan perubahan hemodinamik dan  respon imun menghasilkan SIRS.2,6
Sesaat setelah trauma berat terjadi penurunan rasio metabolisme hingga 24 jam pertama kemudian diikuti dengan fase hipermetabolisme dan fase katabolisme yang ditandai dengan peningkatan glukoneogenesis yang  akhirnya menimbulkan hiperglikemia dan kemungkinan terjadi SIRS dan infeksi. Fase hipermetabolisme berlangsung hingga 1 sampai 2 minggu.2
Tabel 2. Perubahan hormonal akibat trauma/pembedahan6
Kelenjar endokrin
Hormon
Perubahan sekresi
Pituitari anterior
ACTH

Growth hormone

TSH
↑/↓

FSH/LH
↑/↓
Pituitari posterior
AVP
Cortex adrenal
Cortisol

Addrenalin
Pankreas
Insulin

Glukagon
sedikit ↑
Tiroid
Tiroksin

Triyodotironin






Respon hemodinamik akibat trauma

Respon Immunogik akibat trauma
Bogner dkk.(2009), mengemukakan bahwa konsentrasi serum IL-6, IL-8, IL-10 meningkat 90 menit setelah trauma. Peningkatan konsentrasi ketiga interleukin ini pada pasien trauma  erat kaitannya dengan dengan MOF,  pasien dengan  syok  hemoragik yang mendapat transfusi masif RBC dan prognosis yang buruk.  Khusus untuk peningkatan IL-10 memiliki hubungan yang signifikan terhadap derajat keparahan (ISS> 35).5
 
Tabel 2. Mediator inflamasi akibat trauma

Stimulasi Sekresi  oleh
  Sel  asal
Fungsi
IL-1(β)
Aktivasi makrofag
monosit dan endotelium
Pro-inflamasi
sekresi IL-6 dan IL-8
IL-4
Trauma
Activated T-cell
Anti-inflamasi
IL-6
IL-1β
TNF-α
monosit dan endotelium
Pro-dan anti-inflamasi,
produksi CRP, prokalsitonin. IL1R antagonis, PGE2
IL-8
IL-1 (β)
monosit dan endotelium
Pro-inflamasi,
mengaktifkan PMN,
menarik monosit, fibroblas.
memperpanjang waktu paruh PMN
IL-10
PGE2
monosit dan endotelium
Anti-inflamasi
TNF-α
Aktivasi makrofag
monosit dan endotelium
Menginduksi sekresi IL-6 dan IL-8
IFN-γ
Trauma
NK-cell activated T-cell
Pro-inflamasi
HMGB1
nukleus sel
nukleus sel nekrotik
Menarik neutrofil dan makrofag
MPO
PMN
monosit dan PMN
Mendegradasi bakteri dan debris selular
Elastase
PMN
monosit dan PMN
Mendegradasi bakteri dan debris selular
Radikal bebas
PMN
monosit dan PMN
Mendegradasi bakteri dan debris selular

   

Systemic inflammatory response syndrome (SIRS)
SIRS merupakan respon tubuh secara umum terhadap infeksi bakteri maupun trauma jaringan.7 Pada tahun 1992, dicapai konsensus oleh American collage of Chest Physicians and the Society of Critical Care Medicine untuk memberikan definisi yang lebih tepat terhadap sindrom ini. Diagnosis SIRS ditegakkan bila  ditemukan dua atau lebih keadaan sebagai berikut:
1.      Suhu badan lebih dari 38oC atau kurang dari 36oC
2.      Denyut jantung lebih dari 90x/menit
3.      Frekuensi pernafasan lebih dari 20x/menit atau PaCO2 kurang dari 32 torr
4.      Sel darah putih (WBC) lebih dari 12.000 sel/mm-3 atau kurang dari 4000 sel/mm-3 atau bentuk imatur bands lebih dari 10%
SIRS akibat trauma mempunyai gambaran klinis yang sangat menyerupai sepsis. Awalnya diduga bahwa SIRS, MOF dan kematian akibat infeksi adalah respon tubuh terhadap produk mikroba, seperti "pathogen associated molecular pattern" (PAMPs). Teori awal menyatakan  bahwa translokasi bakteri usus pada trauma sebagai penyebab "sindrom sepsis" namun ternyata sindrom yang menyerupai sepsis ini tetap terjadi bahkan pada kasus tanpa sumber infeksi yang jelas. Pada akhir tahun 1980-an  para peneliti menyadari sepenuhnya bahwa SIRS dan MOF bisa terjadi bahkan tanpa adanya sumber infeksi.8 
Polly Matzinger, pada tahun 1990-an  pertama kali memperkenalkan hipotesis  danger theory” tentang  adanya sinyal endogen berbahaya yang dilepaskan tubuh saat cedera jaringan seperti heat shock proteins, high-mobility group box1 (HMGB-1), lipoprotein teroksidasi, konstituen sitosol (ATP) yang kesemuanya berkontribusi terhadap respon SIRS.9 Trauma jaringan ataupun cedera seluler  melepaskan damage associated molecular patterns (DAMPs) endogen yang mengaktifkan imunitas bawaan. Cedera seluler melepaskan mitochondrial DAMPs (MTDs) ke dalam sirkulasi.serta mengaktifkan PMNs yang berakibat inflamasi sistemik. MTDs terdiri atas formyl peptides dan mitochondrial DNA (MtDNA) yang mengaktivasi human polymorphonuclear (PMNs) melalui formyl peptides receptor-1 dan Toll like receptor-9 (TLR).10  DAMPs mitokondria yang dilepaskan oleh sel yang rusak  memiliki kemiripan  dengan molekul PAMPs yang dilepaskan oleh bakteri ke sirkulasi sehingga molekul ini dikenali oleh recognition pathogen receptors (RPRs).3  Adanya kemiripan molekuler MTDs dengan mitokondria bakteri menjelaskan mengapa SIRS yang timbul akibat trauma dan akibat infeksi mempunyai gambaran yang sangat mirip. Kedua molekul mitochondrial DAMPs (formyl peptides, MtDNA) dikenali oleh reseptor PAMPs. Sinyal ini mengaktifkan jalur imunitas bawaan yang identik dengan sepsis sehingga menghasilkan sepsis-like state. Pelepasan molekul MTDs  akibat cidera seluler merupakan key link antara trauma, inflamasi dan SIRS.10
Peralihan dari SIRS ke  MODS
            SIRS merupakan konsekuensi klinis dari aktivasi sistemik mediator inflamasi. Berbagai spekulasi tentang faktor yang menginduksi terjadinya perubahan SIRS ke MODS  namun kegagalan host untuk mengkonsumsi oksigen ternyata menjadi penentu peralihan SIRS menjadi MODS. Siegel, dkk. mengindentifikasi perubahan patofisiologi hemodinamik dan metabolik  menjadi empat tahap yaitu tahap A, B, C dan D (gambar….Baue, chapter 2.
Tahap A, penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan peningkatan cardiac output merupakan respon stres terhadap operasi besar atau trauma. Pada tahap ini ditemukan resistensi vaskular sistemik 900-1000 dyne/s/cm-3 dan cardiac index 3.5-4.0 L/m2. Perbedaan oksigen arteriovenosus konsisten dengan kondisi fisiologis normal dan peningkatan indeks jantung mencerminkan peningkatan konsumsi oksigen total. Peningkatan oksigen total menggambarkan fase hipermetabolik yang terjadi akibat respon hormon stres tapi konsentrasi laktat darah dalam batas normal. Tahap ini merupakan respon normal terhadap trauma berat atau operasi besar yang jika tanpa komplikasi maka efek aktivasi mediator pro-inflamasi akan teratasi dan pemulihan pasien akan tercapai.
Tahap B mewakili respon stress yang berlebihan. Penurunan resistensi vaskular sistemik sangat ekstrim  < 800 dyne/s/cm-3 bahkan pada kasus berat dapat menurun hingga < 400 dyne/s/cm-3, terjadi peningkatan konsentrasi laktat darah namun pH darah tetap relatif normal, level serum bilirubin mulai menigkat diatas normal, aspirasi selang  nasogastric  memperlihatkan  cairan berwarna coklat tua. Kadar serum kreatinin >1.0 mg/dl. Jika stimulus yang memicu terjadinya tahap B SIRS tidak dikendalikan maka pasien akan masuk ke tahap kegagalan organ multipel.
Tahap C merupakan dekompensasi dari respon stres berlebihan. Hilangnya resistensi vaskular sistemik yang ekstrim dan cadangan fisiologis ventrikel kiri tidak lagi mampu mempertahankan tekanan arteri akibat  pengurangan afterload yang berlebihan. Pada tahap ini ditemukan hipotensi sehingga tahap ini disebut juga hypotensive state yang sama dengan yang terjadi pada syok septik atau shock state. Secara klinis, meskipun pasien ini mengalami syok namun pada palpasi tubuh pasien tetap teraba hangat, dan ditemukan tanda klinis yang menyerupai infeksi namun tanpa adanya bakteriemia serta asidosis laktat yang berat.
Tahap D mewakili profil hemodinamik pasien pre-terminal SIRS. Kondisi sirkulasi hemodinamik terlihat cardiac output yang rendah,  resistensi vascular sistemik yang meningkat diatas normal, penurunan konsumsi oksigen sistemik dan konsentrasi laktat darah yang sangat tinggi.

Multiple Organ Failure (MOF)
MOF adalah suatu kondisi dimana lebih dari satu system atau organ tidak dapat melakukan aktifitas secara spontan.(Arthur E. Baue, chapter 1) Lima karakteristik klinik yang menghasilkan kondisi yang dapat berakhir dengan MOF yaitu: (1) gangguan metabolik berat, trauma, pembedahan atau keduanya; (2) kesalahan deteksi dini adanya ongoing bleeding, penutupan luka yang tidak adekuat, kontaminasi bakteri; (3)  infeksi; (4)  inflammasi berat khususnya akibat nekrosis jaringan yang luas; (5) pasien yang sebelum operasi atau trauma memiliki gangguan fungsi satu atau lebih organBaue, chapter 1.  
Multiple organ failure bukan merupakan satu penyakit namun merupakan sebuah konsep dalam penanganan dan penelitian tentang pasien trauma. Definisi kegagalan organ menurut Baue (modifikasi klasifikasi Knaus,dkk) adalah sebagaimana yang tercantum pada tabel 3.
Tabel 3. Definisi dari kegagalan system organ (menurut Baue)
Diagnosis kegagalan system organ ditegakkan jika pasien memiliki lebih dari satu kriteria dibawah ini selama 24 jam
1.       Kegagalan sistem kardiovaskuler (adanya ≥1 gejala dibawah ini)
a.       Denyut jantung ≤ 54 kali/menit
b.       Mean arterial blood pressure ≤ 49 mmHg
c.        Takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel atau keduanya
d.       pH serum ≤ 7.24 dengan PaCO2 ≤ 49 mmHg
2.       Kegagalan sistem pernafasan (adanya ≥1 gejala dibawah ini)
a.       Respiratory rate ≤ 5 atau ≥ 49 kali/menit
b.       PaCO2  ≥ 50 mmHg
c.        AaDO2  ≥ 350 mmHg (AaDO2 = 713 FiO2 –PaCO2 –PaO2
d.       Dependent Ventilator selama 4 hari
3.       Kegagalan sistem ginjal (adanya ≥1 gejala dibawah ini)
a.       Produksi urin ≤ 479 ml/24 jam atau ≥ 159 ml/8 jam
b.       Nitrogen urea serum darah ≥ 100 mg/dl
c.        Serum kreatinin ≥ 3.5 mg/dl

4.       Kegagalan sistem hematologik (adanya ≥1 gejala dibawah ini)
a.       Jumlah sel darah putih ≤ 1000/mm3
b.       Platelet ≤ 20,000/mm3
c.        Hematokrit ≤ 20%
5.       Kegagalan sistem neurologik
Glasgow coma score ≤ 6 (tanpa sedasi)
 

               
            Kemungkinan terjadinya MOF pada pasien trauma ternyata ditentukan juga dengan ada tidaknya faktor resiko. Usia > 35 tahun, ISS (injury severity score) > 25, transfusi > 6 unit RBC selama 12 jam pertama setelah trauma, base deficit  >8 mEq/L, laktat darah > 2.5 mmol/L, syok hipovolemik, sepsis dan lamanya rentang waktu antara trauma dengan penanganan awal di rumah sakit    merupakan faktor resiko yang erat kaitannya dengan angka kematian pasien trauma.  Pada tahun 1985 ditemukan bahwa kegagalan sistem organ berhubungan erat dengan kematian. Kegagalan satu sistem organ mengakibatkan kemungkinan kematian sebesar  40%, kegagalan dua sistem organ mempunyai kemungkinan kematian 60% dan bila tiga atau lebih kegagalan sistem organ yang berlangsung lebih dari tiga hari maka angka kematian akan meningkat menjadi 96%.Baue chapter 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar