SIRS, MODS AND MOF IN TRAUMA PATIENTS
DR. dr. Fonny Josh
SpBP-RE(K)
Surgery Department of
Hasanuddin University
ABSTRACT
The inflammatory response consists of hormonal metabolic and
immunological components and the extent correlates with the magnitude of the tissue
injury. Trauma patients are, however, often exposed, not only to the trauma,
but to several events in the form of initial surgery and later final
reconstructive surgery. Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) following
trauma comprises various systems of the human body which are cross-linked with
each other within a highly complex network of inflammation. Endogenous danger
signals (danger-associated molecular patterns; DAMPs; alarmins) as well as
exogenous pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) play a crucial role in
the initiation of the immune response. The role of the dual-function mediators
in systemic inflammation provides a possible explanation for the enigmatic
question of why patients with severe (sterile) injury present with a syndrome
that is indistinguishable from sepsis.
Although multiple organ failure (MOF)
remains the leading cause of death after trauma, the pathogenic cellular and
molecular mechanisms underlying MOF are poorly understood. In addition to pro-inflammatory
and anti-inflammatory mediator cascades, the temporal onset of MOF has
generated recent interest because the organ systems involved into MOF seem to
deteriorate in a time-dependent fashion after trauma. Knowledge of the normal
inflammatory response to trauma makes it possible for the surgeon to react if
an abnormal response is observed.
Keywords: Danger-associated
molecular patterns (DAMPs); alarmins;
pathogen-associated molecular
patterns (PAMPs); Systemic inflammatory response syndrome (SIRS); multiple
organ failure (MOF)
PENDAHULUAN
Trauma
merupakan salah satu penyebab kematian pada negara berkembang. Kematian pada
pasien trauma paling sering disebabkan karena kegagalan organ multiple (MOF), infeksi maupun
systemic inflammatory response syndrome
(SIRS). Semua trauma
terutama multitrauma ataupun tindakan operasi dapat menimbulkan
reaksi tubuh berupa respon imun. Namun berat ringannya respon imun yang
terjadi dipengaruhi oleh tingkat keparahan trauma, penanganan dan komplikasi/penyakit penyerta yang
kesemuanya merupakan faktor penentu
untuk pemulihan pasien.1 Pada pasien trauma ringan ataupun tanpa
komplikasi maka respon inflamasi sistemik yang terjadi hanya bersifat sementara
selanjutnya terjadi keseimbangan antara
sekresi mediator pro- dan anti-inflamasi.2 Trauma merupakan
“first hit” yang menghasilkan sinyal
endogen untuk mengaktifkan respon imun
adaptif dan bawaan. Sinyal endogen ini dikenal sebagai “danger signal” yang di
hasilkan oleh cedera jaringan, sel nekrotik atau respon terhadap stress.3 SIRS terjadi akibat mediasi oleh monosit dan
komponen sistem imun lainnya. SIRS diikuti oleh CARS (compensatory anti-inflammatory response syndrome). Mediator
anti-inflamasi menetralkan mediator pro-inflamasi yang terjadi sehingga respon
imun pada pasien trauma dapat mengarah
ke pemulihan atau MOF tergantung pada mediator anti-inflamasi dan pro-inflamasi
yang dihasilkan oleh tubuh.4 Penyimpangan regulasi sistem
imun dalam merespon trauma mengakibatkan kegagalan multiorgan dan peningkatan
mortalitas. Aktivasi inflamasi berlebihan dari aberans monosit (MO) pada SIRS, CARS prematur atau respon CARS yang
berlebihan akibat dominasi makrofage
dalam aliran darah dan jaringan perifer (gambar 1). Selain itu deplesi sel yang
sering terlihat pada pasien trauma memberikan kontribusi terjadinya multiple organ failure (MOF)4.
Gambar 1.
Beberapa jalur respon imun yang terjadi pada pasien trauma yang mengarah ke
pemulihan atau MOF. Garis utuh menggambarkan respon imun untuk trauma berat.
Garis berupa titik putus-putus menggambarkan situasi dengan respon SIRS berlebihan
yang mengarah ke pemulihan atau kematian. Garis putus-putus mengambarkan CARS
prematur atau respon CARS berlebihan yang mengarah ke pemulihan atau MOF.4
Respon
inflamasi yang terjadi akibat trauma
adalah proses dinamis yang diakibatkan oleh pelepasan mediator inflamasi.
Trauma berat maupun multipel menginduksi terjadinya reaksi imun4 (bawaan maupun adaptif) yang diaktifkan oleh
sinyal endogen akibat respon terhadap stres, cedera jaringan ataupun sel
nekrotik dan respon inflamasi sistemik
melalui perubahan stress hormon, mediator metabolik, imunologi ataupun respon hemodinamik
(tabel 1) yang pada akhirnya berefek
pada kerusakan sistem organ.2,5 Iskemia seluler,
iskemia/reperfusi (I/R) injury,
hipovolemia dan reaksi imunologi sekunder pasca transfusi darah dan infeksi,
merupakan second hit yang menginduksi SIRS dan dapat berakhir
dengan MOF.2
Tabel 1. Respon sistemik terhadap trauma/pembedahan6
|
|
Aktivasi sistem nervus simpatik
|
|
Respon endokrin
|
|
sekresi hormon pituitari
|
|
resistansi insulin
|
|
Perubahan imunologik dan hemodinamik
|
|
sekresi sitokin
|
|
reaksi fase akut
|
|
leukositosis netrofil
|
|
proliferasi limfosit
|
Respon metabolik hormonal terhadap trauma
Trauma
berat diikuti oleh respon metabolisme hormonal. Respon ini ditandai dengan
meningkatnya sekresi berbagai hormon stres seperti adrenalin, kortisol,
glukagon, hormon pertumbuhan, aldosterone dan hormon anti-diuretik (Tabel 2). Respon
adrenokortikal terhadap trauma pertama kali dijelaskan hampir 100 tahun yang
lalu. Impuls aferen dari lokasi cedera
merangsang hypothalamus mensekresi hormon
yang merangsang kelenjar hipofisis. Kortisol disekresikan oleh stimulasi
hormon korteks adrenalin sementara adrenalin disekresikan oleh medula adrenal sebagai
respon dari aktivasi sistem saraf simpatik. Pada trauma respon neuroendokrin
berinteraksi dengan perubahan hemodinamik dan respon imun menghasilkan SIRS.2,6
Sesaat
setelah trauma berat terjadi penurunan rasio metabolisme hingga 24 jam pertama
kemudian diikuti dengan fase hipermetabolisme dan fase katabolisme yang
ditandai dengan peningkatan glukoneogenesis yang akhirnya menimbulkan hiperglikemia dan
kemungkinan terjadi SIRS dan infeksi. Fase hipermetabolisme berlangsung hingga
1 sampai 2 minggu.2
Tabel 2. Perubahan hormonal akibat trauma/pembedahan6
|
||
Kelenjar endokrin
|
Hormon
|
Perubahan sekresi
|
Pituitari anterior
|
ACTH
|
↑
|
Growth hormone
|
↑
|
|
TSH
|
↑/↓
|
|
FSH/LH
|
↑/↓
|
|
Pituitari posterior
|
AVP
|
↑
|
Cortex adrenal
|
Cortisol
|
↑
|
Addrenalin
|
↑
|
|
Pankreas
|
Insulin
|
↓
|
Glukagon
|
sedikit ↑
|
|
Tiroid
|
Tiroksin
|
↓
|
Triyodotironin
|
↓
|
Respon hemodinamik akibat trauma
Respon Immunogik akibat trauma
Bogner
dkk.(2009), mengemukakan bahwa konsentrasi serum IL-6, IL-8, IL-10 meningkat 90
menit setelah trauma. Peningkatan konsentrasi ketiga interleukin ini pada
pasien trauma erat kaitannya dengan
dengan MOF, pasien dengan syok hemoragik
yang mendapat transfusi masif RBC dan prognosis yang buruk. Khusus untuk peningkatan IL-10 memiliki
hubungan yang signifikan terhadap derajat keparahan (ISS> 35).5
Tabel 2. Mediator inflamasi akibat
trauma
|
Stimulasi Sekresi oleh
|
Sel asal
|
Fungsi
|
IL-1(β)
|
Aktivasi makrofag
|
monosit dan endotelium
|
Pro-inflamasi
sekresi IL-6 dan IL-8
|
IL-4
|
Trauma
|
Activated T-cell
|
Anti-inflamasi
|
IL-6
|
IL-1β
TNF-α
|
monosit dan endotelium
|
Pro-dan anti-inflamasi,
produksi CRP, prokalsitonin. IL1R antagonis, PGE2
|
IL-8
|
IL-1 (β)
|
monosit dan endotelium
|
Pro-inflamasi,
mengaktifkan PMN,
menarik monosit, fibroblas.
memperpanjang waktu paruh PMN
|
IL-10
|
PGE2
|
monosit dan endotelium
|
Anti-inflamasi
|
TNF-α
|
Aktivasi makrofag
|
monosit dan endotelium
|
Menginduksi sekresi IL-6 dan IL-8
|
IFN-γ
|
Trauma
|
NK-cell activated T-cell
|
Pro-inflamasi
|
HMGB1
|
nukleus sel
|
nukleus sel nekrotik
|
Menarik neutrofil dan makrofag
|
MPO
|
PMN
|
monosit dan PMN
|
Mendegradasi bakteri dan debris selular
|
Elastase
|
PMN
|
monosit dan PMN
|
Mendegradasi bakteri dan debris selular
|
Radikal
bebas
|
PMN
|
monosit dan PMN
|
Mendegradasi bakteri dan debris selular
|
Systemic
inflammatory response syndrome (SIRS)
SIRS
merupakan respon tubuh secara umum terhadap infeksi bakteri maupun trauma
jaringan.7 Pada
tahun 1992, dicapai
konsensus oleh American collage of Chest
Physicians and the Society of Critical Care Medicine untuk memberikan
definisi yang lebih tepat terhadap sindrom ini. Diagnosis SIRS ditegakkan
bila ditemukan dua atau lebih keadaan
sebagai berikut:
1. Suhu badan
lebih dari 38oC atau kurang dari 36oC
2. Denyut jantung
lebih dari 90x/menit
3. Frekuensi
pernafasan lebih dari 20x/menit atau PaCO2 kurang dari 32 torr
4. Sel darah putih
(WBC) lebih dari 12.000 sel/mm-3 atau kurang dari 4000 sel/mm-3
atau bentuk imatur bands lebih dari
10%
SIRS akibat trauma mempunyai gambaran klinis yang sangat
menyerupai sepsis. Awalnya diduga bahwa SIRS, MOF dan kematian akibat infeksi adalah respon
tubuh terhadap produk mikroba, seperti "pathogen associated molecular pattern" (PAMPs). Teori awal
menyatakan bahwa translokasi bakteri
usus pada trauma sebagai penyebab "sindrom sepsis" namun ternyata
sindrom yang menyerupai sepsis ini tetap terjadi bahkan pada kasus tanpa sumber
infeksi yang jelas. Pada akhir tahun 1980-an
para peneliti menyadari sepenuhnya bahwa SIRS dan MOF bisa terjadi
bahkan tanpa adanya sumber infeksi.8
Polly Matzinger, pada tahun 1990-an
pertama kali memperkenalkan hipotesis
“danger theory” tentang adanya sinyal endogen berbahaya yang
dilepaskan tubuh saat cedera jaringan seperti heat shock proteins, high-mobility
group box1 (HMGB-1), lipoprotein teroksidasi, konstituen sitosol (ATP) yang
kesemuanya berkontribusi terhadap respon SIRS.9 Trauma jaringan
ataupun cedera seluler melepaskan damage
associated molecular patterns (DAMPs) endogen yang mengaktifkan imunitas
bawaan. Cedera seluler melepaskan mitochondrial
DAMPs (MTDs) ke dalam sirkulasi.serta mengaktifkan PMNs yang berakibat
inflamasi sistemik. MTDs terdiri atas formyl
peptides dan mitochondrial DNA
(MtDNA) yang mengaktivasi human
polymorphonuclear (PMNs) melalui formyl
peptides receptor-1 dan Toll like
receptor-9 (TLR).10 DAMPs mitokondria yang dilepaskan oleh sel
yang rusak memiliki kemiripan dengan molekul PAMPs yang dilepaskan oleh
bakteri ke sirkulasi sehingga molekul ini dikenali oleh recognition pathogen receptors (RPRs).3 Adanya kemiripan molekuler MTDs dengan
mitokondria bakteri menjelaskan mengapa SIRS yang timbul akibat trauma dan
akibat infeksi mempunyai gambaran yang sangat mirip. Kedua molekul mitochondrial DAMPs (formyl peptides, MtDNA) dikenali oleh
reseptor PAMPs. Sinyal ini mengaktifkan jalur imunitas bawaan yang identik
dengan sepsis sehingga menghasilkan sepsis-like
state. Pelepasan molekul MTDs akibat
cidera seluler merupakan key link
antara trauma, inflamasi dan SIRS.10
Peralihan dari SIRS ke MODS
SIRS merupakan konsekuensi klinis dari
aktivasi sistemik mediator inflamasi. Berbagai spekulasi tentang faktor yang
menginduksi terjadinya perubahan SIRS ke MODS
namun kegagalan host untuk mengkonsumsi oksigen ternyata menjadi penentu
peralihan SIRS menjadi MODS. Siegel, dkk. mengindentifikasi perubahan patofisiologi
hemodinamik dan metabolik menjadi empat
tahap yaitu tahap A, B, C dan D (gambar….Baue,
chapter 2.
Tahap
A, penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan peningkatan cardiac output merupakan respon stres
terhadap operasi besar atau trauma. Pada tahap ini ditemukan resistensi
vaskular sistemik 900-1000 dyne/s/cm-3
dan cardiac index 3.5-4.0 L/m2.
Perbedaan oksigen arteriovenosus konsisten dengan kondisi fisiologis normal dan
peningkatan indeks jantung mencerminkan peningkatan konsumsi oksigen total. Peningkatan
oksigen total menggambarkan fase hipermetabolik yang terjadi akibat respon hormon
stres tapi konsentrasi laktat darah dalam batas normal. Tahap ini merupakan
respon normal terhadap trauma berat atau operasi besar yang jika tanpa
komplikasi maka efek aktivasi mediator pro-inflamasi akan teratasi dan
pemulihan pasien akan tercapai.
Tahap
B mewakili respon stress yang berlebihan. Penurunan resistensi vaskular
sistemik sangat ekstrim < 800 dyne/s/cm-3 bahkan pada kasus
berat dapat menurun hingga < 400 dyne/s/cm-3,
terjadi peningkatan konsentrasi laktat darah namun pH darah tetap relatif
normal, level serum bilirubin mulai menigkat diatas normal, aspirasi selang nasogastric memperlihatkan
cairan berwarna coklat tua. Kadar serum kreatinin >1.0 mg/dl. Jika
stimulus yang memicu terjadinya tahap B SIRS tidak dikendalikan maka pasien
akan masuk ke tahap kegagalan organ multipel.
Tahap
C merupakan dekompensasi dari respon stres berlebihan. Hilangnya resistensi vaskular
sistemik yang ekstrim dan cadangan fisiologis ventrikel kiri tidak lagi mampu
mempertahankan tekanan arteri akibat pengurangan afterload yang berlebihan. Pada tahap ini ditemukan hipotensi
sehingga tahap ini disebut juga hypotensive
state yang sama dengan yang terjadi pada syok septik atau shock state. Secara klinis, meskipun
pasien ini mengalami syok namun pada palpasi tubuh pasien tetap teraba hangat,
dan ditemukan tanda klinis yang menyerupai infeksi namun tanpa adanya
bakteriemia serta asidosis laktat yang berat.
Tahap
D mewakili profil hemodinamik pasien pre-terminal SIRS. Kondisi sirkulasi
hemodinamik terlihat cardiac output yang rendah, resistensi vascular sistemik yang meningkat
diatas normal, penurunan konsumsi oksigen sistemik dan konsentrasi laktat darah
yang sangat tinggi.
Multiple
Organ Failure (MOF)
MOF
adalah suatu kondisi dimana lebih dari satu system atau organ tidak dapat
melakukan aktifitas secara spontan.(Arthur E.
Baue, chapter 1) Lima karakteristik klinik yang menghasilkan kondisi yang
dapat berakhir dengan MOF yaitu: (1) gangguan metabolik berat, trauma,
pembedahan atau keduanya; (2) kesalahan deteksi dini adanya ongoing bleeding, penutupan luka yang
tidak adekuat, kontaminasi bakteri; (3)
infeksi; (4) inflammasi berat
khususnya akibat nekrosis jaringan yang luas; (5) pasien yang sebelum operasi
atau trauma memiliki gangguan fungsi satu atau lebih organBaue, chapter 1.
Multiple organ
failure bukan merupakan satu penyakit
namun merupakan sebuah konsep dalam penanganan dan penelitian tentang pasien
trauma. Definisi kegagalan organ menurut Baue (modifikasi klasifikasi Knaus,dkk)
adalah sebagaimana yang tercantum pada tabel 3.
Tabel 3. Definisi dari kegagalan system organ
(menurut Baue)
Diagnosis kegagalan
system organ ditegakkan jika pasien memiliki lebih dari satu kriteria dibawah
ini selama 24 jam
1. Kegagalan sistem kardiovaskuler (adanya ≥1 gejala
dibawah ini)
a. Denyut jantung ≤ 54 kali/menit
b. Mean arterial
blood pressure ≤ 49 mmHg
c.
Takikardia
ventrikel, fibrilasi ventrikel atau keduanya
d. pH serum ≤ 7.24 dengan PaCO2 ≤ 49 mmHg
2. Kegagalan sistem pernafasan (adanya ≥1 gejala
dibawah ini)
a. Respiratory
rate ≤ 5 atau ≥ 49 kali/menit
b. PaCO2 ≥
50 mmHg
c.
AaDO2 ≥ 350 mmHg (AaDO2 = 713 FiO2 –PaCO2
–PaO2
d. Dependent
Ventilator selama 4 hari
3. Kegagalan sistem ginjal (adanya ≥1 gejala dibawah
ini)
a. Produksi urin ≤ 479 ml/24 jam atau ≥ 159 ml/8 jam
b. Nitrogen urea serum darah ≥ 100 mg/dl
c.
Serum
kreatinin ≥ 3.5 mg/dl
4. Kegagalan sistem hematologik (adanya ≥1 gejala
dibawah ini)
a. Jumlah sel darah putih ≤ 1000/mm3
b. Platelet ≤ 20,000/mm3
c.
Hematokrit ≤
20%
5. Kegagalan sistem neurologik
Glasgow coma score ≤ 6 (tanpa
sedasi)
Kemungkinan terjadinya MOF pada
pasien trauma ternyata ditentukan juga dengan ada tidaknya faktor resiko. Usia
> 35 tahun, ISS (injury severity score) > 25, transfusi > 6 unit RBC
selama 12 jam pertama setelah trauma, base
deficit >8 mEq/L, laktat darah >
2.5 mmol/L, syok hipovolemik, sepsis dan lamanya rentang waktu antara trauma
dengan penanganan awal di rumah sakit
merupakan faktor resiko yang erat kaitannya dengan angka kematian pasien
trauma. Pada tahun 1985 ditemukan bahwa
kegagalan sistem organ berhubungan erat dengan kematian. Kegagalan satu sistem
organ mengakibatkan kemungkinan kematian sebesar 40%, kegagalan dua sistem organ mempunyai
kemungkinan kematian 60% dan bila tiga atau lebih kegagalan sistem organ yang
berlangsung lebih dari tiga hari maka angka kematian akan meningkat menjadi
96%.Baue chapter 1